Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bab 1.1 Novel Romantis Wajah Buruk Cinta

Novel berjudul Wajah Buruk Cinta adalah sebuah novel yang bergenre romantic, banyak orang yang dibuat ketagihan untuk membaca novel ini, novel ini sangat terkenal karena jutaan orang telah membaca novel ini dan merasa puas.

Novel ini dapat membuat guncangan emosi yang kuat bagi pembacanya, karena di setiap alur ceritanya membuat pembaca semakin ingin tau kelanjutan dari cerita nya, bahkan novel ini telah di angkat menjadi sebuah film layar lebar.

Novel ini menggunakan 2 sudut pandang. Sudut pandang Tate di masa kini, dan sudut pandang Miles di Enam tahun yang lalu. Meskipun kedua sudut pandang berbeda, tapi setiap pesan yang terkandung dalam alur milik Miles 6 tahun yang lalu itu ternyata berpengaruh di masa sekarang.

Sobat NOVELOVE pasti penasaran dengan ceritanya bukan? Pada kali ini NOVELOVE akan memperkenalkan dan memberikan novel Wajah Buruk Cinta, Kami yakin Sobat NOVELOVE pasti akan suka dengan novel ini, mari kita simak bersama novel berikut ini.

Novel Romantis Wajah Buruk Cinta Bab 12.1

Bab 1.1 Novel Romantis Wajah Buruk Cinta 

Aku merogoh tas tangan dan menemukan ChapStick, berharap dapat menghidupkan rona bibirku sebelum kelihatan selelah bagian tubuhku yang lain. Pintu lift yang mulai menutup tahu- tahu terbuka lagi. Seorang laki-laki berlari menuju lift, dan bersiap masuk sembari menoleh ke laki-laki tua itu. “terimah kasih, Cap,” katanya.

Aku tidak bisa melihat Cap dari dalam lift, tapi kudengar dia membalas dengan menggeramkan sesuatu. Dia tidak terkesan ingin bercakap-cakap ringan dengan laki-laki ini seperti yang dilakukannya padaku. Laki-laki yang bersamaku di lift usianya paling tua akhir dua puluhan. Dia tersenyum lebar padaku, dan aku tahu apa yang terlintas di benaknya, mengingat dia baru saja menyusupkan tangan kiri ke saku. Tangan yang di jemarinya tersemat cincin kawin.

“Lantai sepuluh,” katanya tanpa mengalihkan tatapan. Matanya turun ke dadaku yang mengintip sedikit dari potongan leher blus, setelah itu dia melihat koper di sebelahku. Aku menekan tombol untuk lantai sepuluh. Seharusnya aku pa-kai sweter.

“Pindahan?” tanyanya, terang-terangan menatap blusku lagi.

Aku mengangguk, meskipun tak yakin laki-laki itu melihat anggukanku, karena matanya tidak tertuju ke area di dekat wajahku.

“Lantai berapa?”

Oh, tidak. Aku mengulurkan tangan ke samping dan menutup semua angka di panel dengan dua tangan untuk menyembunyikan angka delapan belas yang menyala, setelah itu menekan semua tombol di antara angka sepuluh dan delapan belas. Laki- laki itu menatap panel dengan bingung.

“Bukan urusanmu,” sahutku. Dia tertawa.

Dia mengira aku bercanda, Dia melengkungkan alis hitamnya yang lebat. Alis yang indah. Alis indah yang menempel di wajah indah, yang menempel di kepala indah, dan menempel di tubuh yang indah.

Tubuh laki-laki yang sudah menikah. Ah, sial.

Laki-laki itu menyunggingkan senyum lebar menggoda setelah melihatku mengamatinya meskipun alasanku mengamatinya tidak sama dengan alasan yang ada di pikirannya. Aku bertanya-tanya, sudah berapa kali tubuh itu menindih tubuh perempuan lain yang bukan istrinya,

Aku jadi kasihan pada istrinya.

Dia menatap dadaku lagi ketika lift tiba di lantai sepuluh. “Aku bisa membantumu membawakan itu,” katanya sambil mengangguk ke arah koperku. Suaranya bagus. Aku bertanya-tanya berapa banyak gadis yang terpukau dengan suaranya. Dia berjalan ke arahku dan mengulurkan tangan ke panel angka, dengan berani menekan tombol untuk menutup pintu.

Aku membalas tatapannya sambil menekan tombol buka. “Aku menahannya untukmu.”

Dia mengangguk seolah mengerti, tapi di matanya masih terlihat kilatan nakal yang menguatkan rasa tidak sukaku padanya. Dia keluar dari lift dan berbalik menghadapku sebelum berjalan menjauh.

“Sampai bertemu nanti, Tate,” katanya, bersamaan dengan pintu lift menutup.

Aku mengernyit, tak nyaman mendapati dua orang yang berinteraksi denganku sejak memasuki gedung apartemen ini sudah tahu siapa aku.

Aku tetap sendirian ketika lift berhenti di tiap-tiap lantai hingga akhirnya tiba di lantai delapan belas. Aku keluar, mengambil ponsel dari saku, lalu membuka pesan-pesanku dengan Corbin, sebab aku tidak ingat nomor apartemennya. Entah itu 1816 atau 1814.

Atau malah 1826?

Aku berhenti di nomor 1814. Ada orang pingsan di lantai lorong, dan orang itu bersandar ke pintu nomor 1816.

Kumohon, jangan 1816.

Aku menemukan pesan yang kucari di ponselku, dan meringis. Nomor 1816.

Tentu saja 1816.

Aku berjalan lambat-lambat ke pintu, berharap tidak membangunkan laki-laki itu. Dia pingsan dengan kaki terkangkang, punggungnya bersandar ke pintu apartemen Corbin. Dagunya menempel ke dada, dan dia mengorok.

“Permisi,” kataku, suaraku hanya sedikit lebih kuat daripada bisikan.

Laki-laki itu bergeming.

Aku mengangkat kaki dan menyodok bahunya. “Aku mau masuk ke apartemen ini.”

Laki-laki itu bergerak, perlahan membuka mata dan menatap langsung ke kakiku. Matanya sejajar lututku, dan alisnya bertaut ketika dia perlahan mencondongkan tubuh dengan wajah berkerut dalam. Dia mengangkat satu tangan dan menusuk lututku dengan jemari, seperti orang yang belum pernah melihat lutut. Kemudian dia menurunkan tangan, memejamkan mata, dan kembali tidur bersandar di pintu.

“Bagus.”

Corbin baru pulang besok, jadi kutekan nomor teleponnya untuk mencari tahu apakah laki-laki di pintu ini seseorang yang perlu kukhawatirkan.

“Tate?” sapa Corbin, menjawab panggilan tanpa mengucapkan halo.

“Yap,” sahutku. “Aku tiba di apartemenmu dengan selamat, tapi tidak bisa masuk karena ada laki-laki mabuk pingsan di pintumu. Ada saran?”

“Delapan belas enam belas?” tanya Corbin. “Kau yakin apartemennya benar?”

“Yakin sekali.”

“Kau yakin laki-laki itu mabuk?” “Yakin sekali.”

“Aneh,” kata Corbin. “Dia pakai baju apa?” “Untuk apa kau ingin tahu dia pakai baju apa?”

“Kalau dia pakai seragam pilot, kemungkinan dia tinggal di gedung itu. Kompleks apartemen itu bekerja sama dengan maskapai kami.”

Laki-laki di pintu ini tidak memakai seragam apa pun, tapi mau tak mau aku memperhatikan bagaimana celana jins dan kaus hitamnya melekat pas di tubuh.

“Tidak pakai seragam,” sahutku……….(Bersambung)

Penutup

Bagaimana? apakah sobat NOVELOVE tertarik dengan kelanjutan ceritanya? Pasti nya ketagihan dong, baiklah mari kita lanjut membaca ke bab selanjut nya yaitu Bab 1.2 Novel Romantis Wajah Buruk Cinta

Posting Komentar untuk "Bab 1.1 Novel Romantis Wajah Buruk Cinta "