Bab 1.2 Novel Romantis Wajah Buruk Cinta
Novel berjudul Wajah Buruk Cinta adalah sebuah novel yang
bergenre romantic, banyak orang yang dibuat ketagihan untuk membaca novel ini,
novel ini sangat terkenal karena jutaan orang telah membaca novel ini dan
merasa puas.
Novel ini dapat membuat guncangan emosi yang kuat bagi
pembacanya, karena di setiap alur ceritanya membuat pembaca semakin ingin tau
kelanjutan dari cerita nya, bahkan novel ini telah di angkat menjadi sebuah
film layar lebar.
Novel ini menggunakan 2 sudut pandang. Sudut pandang Tate di
masa kini, dan sudut pandang Miles di Enam tahun yang lalu. Meskipun kedua
sudut pandang berbeda, tapi setiap pesan yang terkandung dalam alur milik Miles
6 tahun yang lalu itu ternyata berpengaruh di masa sekarang.
Sobat NOVELOVE pasti penasaran dengan ceritanya bukan? Pada
kali ini NOVELOVE akan memperkenalkan dan memberikan novel Wajah Buruk Cinta,
Kami yakin Sobat NOVELOVE pasti akan suka dengan novel ini, mari kita simak
bersama novel berikut ini.
Novel Romantis Wajah Buruk Cinta Bab 1.2
Laki-laki di pintu ini tidak memakai seragam apa pun, tapi
mau tak mau aku memperhatikan bagaimana celana jins dan kaus hitamnya melekat
pas di tubuh.
“Tidak pakai seragam,” sahutku
“Bisa tidak kau melewati dia tanpa membangunkannya?”
“Harus kugeser dulu. Kalau langsung kubuka pintunya, nanti
dia tertelentang ke dalam.”
Corbin terdiam beberapa detik ketika berpikir.
“Turunlah dan minta bantuan Cap,” katanya.
“Aku sudah memberitahunya kau akan datang malam ini.
“Cap bisa menemanimu menunggu sampai kau masuk apartemen.”
Aku menghela napas. Aku sudah menyetir selama enam jam, dan
turun lagi ke lantai dasar bukan sesuatu yang rasanya ingin kulakukan saat ini.
Aku juga menghela napas karena Cap orang terakhir yang kemungkinan bisa
menolongku mengatasi situasi ini.
“Jangan tutup teleponnya sampai aku masuk apartemenmu.”
Aku lebih menyukai
rencanaku. Kukepit ponselku di antara telinga dan bahu, lalu kurogoh tas tangan
untuk mengambil kunci yang dikirimkan Corbin padaku. Kumasukkan kunci itu ke
lubang dan mulai membuka pintu, laki-laki mabuk itu ikut jatuh sesenti demi
sesenti seiring pintu terbuka. Dia mengerang, tapi matanya tetap terpejam.
“Sayang sekali dia mabuk,” kataku pada Corbin. “Wajahnya
lumayan.”
“Tate, masuk sajalah dan kunci pintu supaya teleponnya bisa
kututup.”
Aku memutar bola mata. Corbin masih kakakku yang suka
memerintah, seperti biasanya. Aku tahu pindah ke apartemennya takkan bagus
untuk hubungan kami mengingat bagaimana sikapnya yang seperti ayah padaku
ketika usia kami lebih muda.
Tapi, aku tak sempat mencari pekerjaan, menemukan apartemen
sendiri, dan hidup mandiri sebelum kuliah baruku dimulai, jadi aku hanya punya
sedikit pilihan.
Meskipun begitu, aku berharap hubunganku dan Corbin sekarang
akan berbeda. Dia kini 25 tahun, aku 23, jadi jika hubungan kami tak bisa lebih
akur daripada ketika masa kecil, banyak sekali yang harus kami bereskan sebagai
orang dewasa.
Kurasa sebagian besar hasilnya tergantung pada Corbin dan
apakah sifatnya sudah berubah sejak terakhir kali kami tinggal serumah. Corbin
keberatan dengan semua cowok yang kukencani, semua temanku, semua pilihan yang
kuambil—bahkan kampus yang ingin kumasuki. Bukan berarti aku pernah ambil
pusing pada pendapatnya. Terpisah jarak dan waktu sepertinya berhasil membuat
kakakku itu berhenti merecoki hidupku selama beberapa tahun terakhir, tapi
pindah ke apartemennya akan menjadi ujian paling berat bagi kesabaran kami
berdua.
Aku menyelempangkan tas tangan ke bahu, tapi malah
tersangkut di gagang koper, jadi kubiarkan tas itu terjatuh ke lantai. Tangan
kiriku terus memegang erat kenop sambil menahan pintu tetap tertutup supaya
laki-laki itu tidak terbanting ke dalam apartemen. Aku menggunakan kaki untuk
menahan bahunya, mendorongnya menjauh dari tengah pintu.
Laki-laki itu bergeming.
“Corbin, dia berat banget. Aku terpaksa menutup telepon dulu
supaya bisa menggunakan dua tangan.”
“Jangan ditutup. Masukkan saja ponselmu ke saku, tapi jangan
tutup.”
Aku menurunkan tatapan ke blus kedodoran dan celana ketat
yang kupakai. “Bajuku tidak ada sakunya. Kalau begitu, ke dalam bra saja.”
Corbin mengeluarkan suara tersedak ketika aku menjauhkan
ponsel dari telinga dan menyelipkannya ke balik br4. Setelah itu aku mencabut
kunci dari lubang dan menjatuhkannya ke tas, tapi meleset dan kuncinya malah
jatuh ke lantai. Aku mengulur- kan tangan ke bawah untuk mencengkeram laki-laki
itu supaya bisa menyingkirkannya dari depan pintu.
“Baiklah, Sobat,” kataku, berjuang keras menariknya menjauh
dari pintu. “Aku menyesal mengganggu tidur siangmu, tapi aku harus masuk
apartemen ini.”
Akhirnya aku berhasil menyandarkan dia ke bingkai pintu
supaya tidak terjerembap lagi ke dalam apartemen, setelah itu, kudorong daun
pintu lebih lebar dan berbalik mengambil barang-barangku. Kemudian ada yang
mencengkeram pergelangan kakiku. Aku langsung membeku, menurunkan tatapan.
“Lepaskan aku!” seruku sambil menendang tangan yang
mencengkeram pergelangan kakiku dengan begitu kuat sampai-sampai aku cukup
yakin kulitku akan memar. Laki-laki mabuk itu mendongak padaku, cengkeramannya
yang kuat membuatku terjatuh ke belakang ketika mencoba menarik kaki.
“Aku harus masuk ke sana,” gumam laki-laki itu bersamaan
dengan bokongku mencium lantai. Dia berusaha mendorong pintu apartemen dengan
tangan satu lagi, dan perbuatannya itu seketika membuatku panik. Aku menarik
kaki sambil berjuang masuk, dan tangan laki-laki itu ikut terseret ke dalam.
Kugunakan kakiku yang bebas untuk menendang pintu agar tertutup, membuat daun
pintu terbanting keras dan menjepit pergelangan tangan laki-laki itu.
“Berengsek!” tukasnya. Dia mencoba menarik kembali tangannya
ke lorong, tapi kakiku masih menekan pintu. Aku mengendurkan tekanan secukupnya
agar dia bisa menarik tangan, setelah itu aku langsung menendang pintu hingga
tertutup sepenuhnya. Aku bangkit dan mengunci pintu, mengunci deadbolt, lalu
memasang rantai pintu, secepat yang kubisa.
Begitu debaran jantungku mereda, jantungku mulai
berteriak-teriak padaku. Benar-benar berteriak. Dengan suara berat laki-laki.
Jantungku seperti berteriak, “Tate! Tate!”
Corbin.
Aku segera menurunkan tatapan ke dada dan menarik ponsel- ku
dari bra, lalu mengangkatnya ke telinga.
“Tate! Jawab aku!”
Aku meringis, lalu menjauhkan ponsel beberapa sentimeter
dari telinga. “Aku baik-baik saja,” ucapku, terengah-engah. “Aku sudah di
dalam. Pintu sudah kukunci.”
“Ya Tuhan!” seru Corbin, terdengar lega. “Kau hampir
membuatku mati ketakutan. Apa yang terjadi?”
“Dia mencoba ikut masuk. Tapi aku sudah mengunci pintu.” Aku
menyalakan lampu ruang tamu dan berjalan belum sampai tiga langkah ketika
tiba-tiba terhenti……..(Bersambung)
Penutup
Bagaimana? apakah sobat NOVELOVE tertarik dengan kelanjutan ceritanya? Pasti nya ketagihan dong, baiklah mari kita lanjut membaca ke bab selanjut nya yaitu Bab 1.3 Novel Romantis Wajah Buruk Cinta
Posting Komentar untuk "Bab 1.2 Novel Romantis Wajah Buruk Cinta "