Bab 1.3 Novel Romantis Wajah Buruk Cinta
Novel berjudul Wajah Buruk Cinta adalah sebuah novel yang
bergenre romantic, banyak orang yang dibuat ketagihan untuk membaca novel ini,
novel ini sangat terkenal karena jutaan orang telah membaca novel ini dan
merasa puas.
Novel ini dapat membuat guncangan emosi yang kuat bagi
pembacanya, karena di setiap alur ceritanya membuat pembaca semakin ingin tau
kelanjutan dari cerita nya, bahkan novel ini telah di angkat menjadi sebuah
film layar lebar.
Novel ini menggunakan 2 sudut pandang. Sudut pandang Tate di
masa kini, dan sudut pandang Miles di Enam tahun yang lalu. Meskipun kedua
sudut pandang berbeda, tapi setiap pesan yang terkandung dalam alur milik Miles
6 tahun yang lalu itu ternyata berpengaruh di masa sekarang.
Sobat NOVELOVE pasti penasaran dengan ceritanya bukan? Pada
kali ini NOVELOVE akan memperkenalkan dan memberikan novel Wajah Buruk Cinta,
Kami yakin Sobat NOVELOVE pasti akan suka dengan novel ini, mari kita simak
bersama novel berikut ini.
Novel Romantis Wajah Buruk Cinta Bab 1.3
Bab 1.3 Novel Romantis Wajah Buruk Cinta |
“Ya Tuhan!” seru Corbin, terdengar lega. “Kau hampir
membuatku mati ketakutan. Apa yang terjadi?”
“Dia mencoba ikut masuk. Tapi aku sudah mengunci pintu.” Aku
menyalakan lampu ruang tamu dan berjalan belum sampai tiga langkah ketika
tiba-tiba terhenti.
“Bagus banget, Tate.” Katanya dalam hati, aku berbalik
dengan gerakan lambat ke pintu setelah menyadari apa yang kulakukan.
“Hmm, Corbin?” aku terdiam sesaat.
“Sepertinya aku meninggalkan beberapa barang yang kubutuhkan
di luar. Aku mau saja mengambilnya, tapi entah kenapa laki-laki mabuk itu
berpikir dia harus masuk apartemenmu, jadi tidak mungkin pintunya kubuka lagi.
Ada saran?”
Corbin diam selama beberapa detik. “Barang apa yang
ketinggalan di lorong?”
Aku tidak ingin menjawab pertanyaan Corbin, tapi tetap
kulakukan. “Koperku.”
“Astaga, Tate,” gerutu Corbin. “Dan... tasku.”
“Kenapa tasmu bisa ada di luar?”
“Sepertinya aku juga meninggalkan kunci apartemenmu di
lantai lorong.”
Corbin tidak mengomentari pemberitahuanku yang terakhir. Dia
hanya mengerang.
“Aku akan menelepon Miles untuk mengecek apakah dia sudah
pulang. Beri aku waktu dua menit.”
“Tunggu. Siapa Miles?”
“Dia tinggal di seberang lorong. Apa pun yang kaulakukan,
jangan buka pintu sampai aku menelepon kembali.”
Corbin mengakhiri percakapan, dan aku bersandar di pintunya.
Aku tinggal di San Fransisco baru tiga puluh menit, tapi sudah membuat Corbin
kesal. Yah, itu tebakanku. Aku beruntung jika Corbin masih mengizinkanku
tinggal di apartemennya sampai aku dapat pekerjaan. Semoga saja tidak lama
lagi, mengingat aku sudah mengajukan tiga lamaran untuk posisi perawat berijazah
di rumah sakit terdekat. Itu bisa berarti aku harus bekerja pada malam hari,
akhir pekan, atau keduanya, tapi akan kuterima pekerjaan apa pun yang bisa
kudapat jika itu membuatku tidak perlu mengorbankan tabungan untuk melanjutkan
kuliah.
Ponselku berdering. Aku menyapukan ibu jari ke layar, lalu
menjawab. “Hei.”
“Tate?”
“Yap,” sahutku, dalam hati penasaran mengapa Corbin selalu
bertanya dulu apakah yang menjawab aku. Dia kan menelepon aku, memangnya siapa
lagi yang akan menjawab dan punya suara persis seperti aku?
“Aku berhasil menghubungi Miles.”
“Bagus. Apa dia akan membantuku mengambil barang?”
“Tidak persis begitu,” sahut Corbin. “Justru aku yang butuh
bantuan besar darimu.”
Aku kembali menyandarkan kepala ke pintu. Aku punya firasat
beberapa bulan ke depan akan penuh dengan permintaan tolong yang tidak
menyenangkan, karena Corbin tahu dia memberiku bantuan penting dengan
mengizinkanku tinggal di sini. Mencuci piring? Tentu saja. Mencuci pakaiannya?
Sudah pasti. Berbelanja bahan-bahan makanan? Sudah jelas.
“Kau butuh apa?” tanyaku.
“Sebenarnya Miles yang butuh bantuanmu.”
“Tetanggamu?” Aku terdiam ketika mengerti apa permintaan
Corbin, kemudian memejamkan mata. “Corbin, tolong jangan bilang orang yang
kauhubungi untuk melindungiku dari laki-laki mabuk di luar justru laki-laki
mabuk itu sendiri.”
Corbin mendesah lelah. “Bukalah kuncinya dan biarkan Miles
masuk. Biarkan dia tidur di sofa. Aku pulang pagi-pagi besok. Setelah mabuknya
hilang, Miles pasti tahu dia ada di mana, dan dia akan langsung pulang.”
Aku menggeleng-geleng. “Kompleks apartemen macam apa yang
kautinggali ini? Apa aku perlu menyiapkan diri diraba-raba orang mabuk setiap
kali pulang kemari?”
Terjadi jeda panjang. “Miles merabamu?”
“’Meraba’ mungkin terlalu pedas. Tapi yang jelas dia sempat
mencengkeram pergelangan kakiku.”
Corbin menghela napas. “Lakukan ini untukku, Tate. Telepon
aku setelah kau membawa masuk dia dan barang-barangmu.”
“Baik.” Aku mengerang, tapi menangkap kekhawatiran dalam
nada suara kakakku.
Aku memutus percakapan dengan Corbin, lalu membuka pintu.
Laki-laki mabuk itu terjerembap dengan menindih bahu, ponselnya terlepas dari
pegangan dan mendarat ke lantai di dekat kepalanya. Aku membalik laki-laki itu
hingga telentang dan menatapnya. Dia membuka mata sedikit dan mencoba
menatapku, tapi kelopak matanya segera menutup lagi.
“Kau bukan Corbin,” gumamnya.
“Bukan. Memang bukan. Aku tetangga barumu, dan sepertinya
kau bakal berutang gula sedikitnya lima puluh cangkir takar padaku.”
Aku mengangkat laki-laki itu dengan menarik bahunya, mencoba
membantunya duduk, tapi gagal. Menurutku dia tidak bisa duduk. Bagaimana
mungkin ada orang yang bisa sampai semabuk ini? Kupegang kedua tangannya dan
kuseret dia ke apartemen sesenti demi sesenti, aku berhenti setelah tubuhnya
masuk cukup jauh sehingga aku bisa menutup pintu. Aku mengambil semua barangku
yang tertinggal di luar apartemen, lalu menutup dan mengunci pintunya. Aku
mengambil bantal sofa, mengangkat kepala laki-laki itu, dan menggulingkannya
hingga berbaring miring untuk mengantisipasi kalau-kalau dia muntah ketika
tidur.
Hanya sejauh itu bantuan yang didapatkannya dariku. Setelah
laki-laki itu tidur pulas di tengah lantai ruang tamu, aku meninggalkan dia dan
melihat-lihat apartemen.
Ukuran ruang tamunya saja cukup untuk memuat tiga ruang tamu
apartemen terakhir Corbin. Ruang makannya membuka ke ruang tamu tapi dapurnya
dipisahkan dari ruang tamu dengan sekat separuh tembok. Ada beberapa lukisan
modern di sana; sofa-sofa mewah empuk berwarna cokelat muda serasi dengan
lukisan-lukisan berwarna cerahnya. Terakhir kali kami serumah, kakakku itu
hanya memiliki bangku futon, kursi beanbag, dan dindingnya ditempeli
poster-poster model.
Kurasa, akhirnya kakakku dewasa juga.
“Sungguh mengesankan, Corbin,” kataku keras-keras ketika
berjalan dari satu ruangan ke ruangan lain sambil menyalakan semua lampu,
memeriksa tempat yang baru saja resmi menjadi rumah sementaraku. Aku agak benci
apartemen ini bagus, karena itu akan membuatku lebih sulit memiliki keinginan
mencari tempat tinggal sendiri setelah uang tabunganku cukup……..(Bersambung)
Penutup
Bagaimana? apakah sobat NOVELOVE tertarik dengan kelanjutan ceritanya? Pasti nya ketagihan dong, baiklah mari kita lanjut membaca ke bab selanjut nya yaitu Bab 1.4 Novel Romantis Wajah Buruk Cinta
Posting Komentar untuk "Bab 1.3 Novel Romantis Wajah Buruk Cinta "