Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bab 1.4 Novel Romantis Wajah Buruk Cinta

Novel berjudul Wajah Buruk Cinta adalah sebuah novel yang bergenre romantic, banyak orang yang dibuat ketagihan untuk membaca novel ini, novel ini sangat terkenal karena jutaan orang telah membaca novel ini dan merasa puas.

Novel ini dapat membuat guncangan emosi yang kuat bagi pembacanya, karena di setiap alur ceritanya membuat pembaca semakin ingin tau kelanjutan dari cerita nya, bahkan novel ini telah di angkat menjadi sebuah film layar lebar.

Novel ini menggunakan 2 sudut pandang. Sudut pandang Tate di masa kini, dan sudut pandang Miles di Enam tahun yang lalu. Meskipun kedua sudut pandang berbeda, tapi setiap pesan yang terkandung dalam alur milik Miles 6 tahun yang lalu itu ternyata berpengaruh di masa sekarang.

Sobat NOVELOVE pasti penasaran dengan ceritanya bukan? Pada kali ini NOVELOVE akan memperkenalkan dan memberikan novel Wajah Buruk Cinta, Kami yakin Sobat NOVELOVE pasti akan suka dengan novel ini, mari kita simak bersama novel berikut ini.

Novel Romantis Wajah Buruk Cinta Bab 1.4

Bab 1.4 Novel Romantis Wajah Buruk Cinta 

Ukuran ruang tamunya saja cukup untuk memuat tiga ruang tamu apartemen terakhir Corbin. Ruang makannya membuka ke ruang tamu tapi dapurnya dipisahkan dari ruang tamu dengan sekat separuh tembok. Ada beberapa lukisan modern di sana; sofa-sofa mewah empuk berwarna cokelat muda serasi dengan lukisan-lukisan berwarna cerahnya. Terakhir kali kami serumah, kakakku itu hanya memiliki bangku futon, kursi beanbag, dan dindingnya ditempeli poster-poster model.

Kurasa, akhirnya kakakku dewasa juga.

“Sungguh mengesankan, Corbin,” kataku keras-keras ketika berjalan dari satu ruangan ke ruangan lain sambil menyalakan semua lampu, memeriksa tempat yang baru saja resmi menjadi rumah sementaraku. Aku agak benci apartemen ini bagus, karena itu akan membuatku lebih sulit memiliki keinginan mencari tempat tinggal sendiri setelah uang tabunganku cukup.

Aku berjalan ke dapur dan membuka kulkas. Ada sederet bumbu dapur di rak pintunya, sekotak pizza yang tidak habis di rak tengah, dan galon susu kosong mendekam di rak paling atas.

Tentu saja Corbin tidak punya bahan makanan. Aku tidak bisa mengharapkannya berubah seratus persen.

Aku mengambil air botolan dan keluar dari dapur untuk melanjutkan mencari kamar yang akan kutempati hingga beberapa bulan ke depan. Ada dua kamar tidur, jadi aku memilih yang bukan kamar Corbin dan meletakkan koperku di ranjang. Aku punya kira-kira tiga koper lagi dan paling sedikit enam kardus barang di mobil, belum ditambah pakaian yang digantung, tapi aku tidak berniat mengambil semua itu malam ini. Kata Corbin, dia pulang besok pagi, jadi biar saja itu menjadi tugasnya.

Aku mengganti pakaian dengan celana olahraga panjang dan tank top, setelah itu menyikat gigi dan bersiap tidur. Biasanya, aku akan gugup jika ada orang tidak dikenal di apartemen yang kutempati, tapi aku punya firasat kali ini tidak perlu khawatir. Corbin takkan pernah memintaku menolong orang yang menurutnya akan menjadi ancaman bagiku dalam cara apa pun. Tapi itu membuatku bingung, sebab jika Miles punya kebiasaan mabuk, kenapa Corbin memintaku membawa laki-laki itu masuk.

Kakakku itu tidak pernah memercayaiku berdekatan dengan laki-laki, dan aku menyalahkan Blake untuk itu. Blake pacar seriusku yang pertama ketika umurku lima belas tahun, dan dia sahabat Corbin. Saat itu umur Blake tujuh belas, dan aku naksir berat padanya sejak lama. Tentu saja, aku dan teman-temanku naksir berat pada sebagian besar teman Corbin, semata-mata karena usia mereka lebih tua daripada kami.

Blake berkunjung hampir setiap akhir pekan untuk menginap di tempat Corbin, dan kami selalu berhasil mencari cara untuk menghabiskan waktu berduaan setiap kali Corbin tidak memperhatikan. Satu aksi berlanjut ke aksi lain, dan setelah beberapa kali akhir pekan berhubungan secara diam-diam, Blake memberitahuku dia ingin meresmikan hubungan kami. Masalah yang tidak bisa diterawang Blake adalah seperti apa reaksi Corbin ketika dia membuatku patah hati.

Dan, yah, Blake memang membuatku patah hati, patah sejadi-jadinya yang dapat dialami hati gadis lima belas tahun setelah berpacaran diam-diam selama dua minggu. Ternyata, ketika dua minggu berkencan denganku, Blake juga resmi mengencani beberapa gadis lain. Saat Corbin tahu, persahabatan mereka berakhir, dan semua teman Corbin mendapat peringatan untuk tidak boleh mendekatiku. Aku hampir mustahil berkencan sewaktu di SMA, hingga akhirnya Corbin lulus. Tetapi bahkan setelah itu, cowok-cowok sudah mendengar cerita mengerikan tersebut dan berusaha jauh-jauh dari adik Corbin.

Meskipun aku benci perlakuan Corbin saat itu, kali ini aku akan menerimanya dengan senang hati. Sejak SMA, sudah cukup banyak aku menjalin hubungan asmara yang keliru. Aku tinggal serumah dengan pacar terakhirku selama lebih dari setahun sebelum kami menyadari kami menginginkan dua hal yang berbeda dalam hidup ini. Dia ingin aku di rumah saja, sedangkan aku ingin berkarier.

Sekarang, di sinilah aku mengejar gelar S2 keperawatan dan berusaha semampuku untuk tidak menjalin asmara. Barangkali tinggal bersama Corbin bukan keputusan buruk.

Aku kembali ke ruang tamu untuk mematikan lampu, tapi ketika membelok di sudut, langkahku seketika terhenti.

Miles bukan saja sudah bangkit dari lantai, sekarang dia ada di dapur, kepalanya menindih tangannya yang dilipat di permukaan konter. Pemuda itu duduk di pinggiran bangku tinggi, tampak bisa jatuh sewaktu-waktu. Aku tidak tahu apakah dia tidur lagi atau sekadar mencoba memulihkan kesadaran.

“Miles?”

Dia tidak bergerak ketika kupanggil, jadi aku menghampirinya dan dengan lembut mengguncang bahunya agar dia bangun. Begitu jemariku meremas bahunya, Miles terkesiap dan langsung duduk tegak seolah aku membangunkannya di tengah-tengah mimpi.

Barangkali mimpi buruk.

Miles seketika meluncur turun dari bangku dan berdiri de-ngan kaki goyah. Tubuhnya mulai berayu -ayun, jadi aku melingkarkan tangannya di bahuku dan mencoba membawanya berjalan meninggalkan dapur.

“Kita ke sofa, Sobat.”

Miles menjatuhkan kepala di sisi kepalaku dan berjalan terhuyung bersamaku, membuatku semakin sulit menopangnya agar tetap tegak.

 “Namaku bukan Sobat,” katanya dengan suara melantur. “Namaku Miles.”

Kami berhasil tiba di depan sofa, dan aku melepaskan tangan Miles dari bahuku.

 “Oke, Miles. Atau siapa pun namamu. Tidurlah.”

Miles ambruk ke sofa, tapi tanpa melepaskan bahuku. Aku terjatuh bersamanya dan buru-buru berusaha melepaskan diri.

“Rachel, jangan,” kata Miles dengan suara memohon sambil memegang tanganku, mencoba menarikku ke sofa bersamanya.

“Namaku bukan Rachel,” kataku sambil berusaha membebaskan tangan dari cengkeramannya yang sekuat besi.

 “Namaku Tate.”

Entah untuk apa aku menjelaskan siapa namaku, karena tidak mungkin Miles masih ingat percakapan ini besok. Aku berjalan ke tempat bantal sofa tergeletak di lantai dan memungutnya. Aku berhenti sebelum menyerahkan bantal pada Miles, karena sekarang dia berbaring miring dengan menekan wajah ke dudukan sofa. Dia mencengkeram sofa begitu kuat hingga buku jemarinya memutih. Awalnya, aku mengira Miles akan muntah, ternyata dugaanku salah besar.

Dia bukan mau muntah. Dia menangis.

Menangis tersedu-sedu.

Begitu tersedu-sedunya hingga bahkan tidak mengeluarkan suara.

Aku tidak mengenal laki-laki ini, tapi keterpurukannya yang begitu nyata menjadi pemandangan yang berat untuk kusaksikan. Aku menatap lorong, lalu kembali menatap Miles, dalam hati bertanya apakah sebaiknya kubiarkan saja dia sendirian dan memberinya privasi. Aku sama sekali tidak ingin terbelit masalah hidup orang lain. Sejauh ini aku berhasil menghindari sebagian besar bentuk drama yang terjadi di lingkaran pertemananku, dan aku yakin sekali tak ingin terlibat dalam drama apa pun sekarang. Naluri awalku adalah menjauh saja, tapi entah mengapa aku merasakan simpati yang ganjil pada Miles. Kesakitannya kelihatan tidak dibuat-buat dan bukan sekadar karena terlalu banyak mengonsumsi alkohol.

Aku menurunkan tubuh hingga berlutut di depan Miles kemudian menyentuh bahunya. “Miles?”

Miles menghela napas dalam-dalam, lalu perlahan mengangkat wajah untuk menatapku. Matanya terbuka hanya segaris dan warnanya sangat merah. Entah karena menangis atau pengaruh alkohol.

“Aku menyesal, Rachel,” katanya sambil mengangkat satu tangan padaku.

Tangannya memegang tengkukku dan dia menarikku ke arahnya, membenamkan wajah ke ceruk antara leher dan bahuku.

“Aku sungguh menyesal.”

Aku tidak tahu siapa Rachel atau apa yang dilakukan Miles terhadapnya, tapi jika Miles terluka sedalam ini, aku bergidik membayangkan seperti apa perasaan perempuan itu. Aku sempat tergoda untuk mencari ponsel Miles dan menelepon Rachel supaya dia bisa datang untuk memperbaiki keadaan ini. Tapi aku malah mendorong Miles dengan lembut supaya kembali berbaring di sofa. Aku meletakkan bantal dan memaksanya merebahkan kepala.

“Tidurlah, Miles,” kataku lembut.

Mata Miles sarat ekspresi terluka ketika dia merebahkan kepala ke bantal.

 “Kau sangat membenciku,” katanya saat meraih tanganku. Matanya memejam lagi, lalu dia mengembuskan napas berat.

Aku menatap Miles tanpa bicara, membiarkannya memegang tanganku hingga dia tenang, tidak bergerak, dan air matanya tak lagi menetes. Setelah itu aku melepaskan tangan darinya, tapi tetap di sebelahnya beberapa menit lagi.

Meskipun tertidur, entah bagaimana dia masih tampak sedih. Alisnya bertaut, napasnya tidak teratur, tidak kunjung berganti menjadi pola yang tenang.

Untuk pertama kalinya aku melihat bekas luka samar yang tidak rata, sepanjang kira-kira sepuluh sentimeter, yang melintang tanpa terputus di sepanjang sisi kanan rahangnya. Bekas luka itu berhenti lima sentimeter sebelum mencapai bibir. Aku merasakan dorongan ganjil untuk menyentuh bekas luka itu dan menyusurinya dengan jemari, alih-alih melakukan itu, tanganku naik ke rambut Miles. Rambutnya pendek di kiri dan kanan, agak panjang di puncak kepala, warnanya campuran sempurna antara cokelat dan pirang. Aku membelai rambut Miles, menenteramkannya, meskipun siapa tahu dia tidak layak mendapatkannya.

Laki-laki ini mungkin saja pantas merasakan semua penyesalan atas apa pun perbuatannya pada Rachel, tapi setidaknya dia menyesal. Dan aku menghargainya untuk itu.

Apa pun yang dilakukannya terhadap Rachel, setidaknya dia cukup mencintai perempuan itu hingga dapat menyesal.......(Bersambung)

Penutup

Bagaimana? apakah sobat NOVELOVE tertarik dengan kelanjutan ceritanya? Pasti nya ketagihan dong, baiklah mari kita lanjut membaca ke bab selanjut nya yaitu Bab 2 Novel Romantis Wajah Buruk Cinta

Posting Komentar untuk "Bab 1.4 Novel Romantis Wajah Buruk Cinta"