Bab 13.6 Novel Romantis Wajah Buruk Cinta
Novel berjudul Wajah Buruk Cinta adalah sebuah novel yang bergenre romantic, banyak orang yang dibuat ketagihan untuk membaca novel ini, novel ini sangat terkenal karena jutaan orang telah membaca novel ini dan merasa puas .
Novel ini dapat membuat guncangan
emosi yang kuat bagi pembacanya, karena di setiap alur ceritanya membuat
pembaca semakin ingin tau kelanjutan dari cerita nya, bahkan novel ini telah di
angkat menjadi sebuah film layar lebar.
Novel ini menggunakan 2 sudut
pandang. Sudut pandang Tate di masa kini, dan sudut pandang Miles di Enam tahun
yang lalu. Meskipun kedua sudut pandang berbeda, tapi setiap pesan yang
terkandung dalam alur milik Miles 6 tahun yang lalu itu ternyata berpengaruh di
masa sekarang.
Sobat NOVELOVE pasti penasaran dengan ceritanya bukan? Pada kali ini NOVELOVE akan memperkenalkan dan memberikan novel Wajah Buruk Cinta, Kami yakin Sobat NOVELOVE pasti akan suka dengan novel ini, mari kita simak bersama novel berikut ini.
Novel Romantis Wajah Buruk Cinta Bab 13.6
“Tak bisa berkata-kata,” kata Miles. “Lebih bagus lagi.”
Dia mengecup pipiku, setelah itu berdiri dan berjalan ke kamar
mandi. Aku memejamkan mata sambil dalam hati bertanya bagaimana caranya
hubungan kami ini berakhir dengan baik.
Takkan bisa.
Aku bisa memastikannya karena aku takkan pernah ingin lagi
melakukan ini dengan orang lain.
Hanya Miles.
Miles masuk lagi ke kamar tidur, lalu membungkuk untuk
memungut boxer sambil sekalian memungut pakaian dalam dan jinsku, lalu
meletakkannya di ranjang di sebelahku.
Kutebak itu isyarat Miles ingin aku berpakaian juga?
Aku duduk memperhatikan Miles mengambil bra dan blusku, lalu
menyerahkannya padaku. Setiap kali tatapan kami bertemu, dia tersenyum, tapi
aku kesulitan membalas senyumnya.
Setelah aku berpakaian, Miles menarikku bangkit dan menciumku,
lalu memelukku. “Aku berubah pikiran,” katanya. “Setelah malam ini, aku cukup
yakin sembilan hari ke depan akan menjadi siksaan berat.”
Aku menggigit bibir untuk menahan senyum, tapi Miles tidak
melihat karena aku masih dalam pelukannya. “Yap.”
Miles mengecup dahiku. “Bisakah kau mengunci pintu saat
keluar?”
Aku menelan kekecewaanku dan berhasil menemukan kekuatan
untuk tersenyum pada Miles ketika dia melepaskan pelukan. “Tentu.” Aku berjalan
ke pintu kamarnya dan mendengarnya mengenyakkan tubuh ke ranjang.
Aku pergi tanpa tahu harus merasakan apa. Miles tidak menjanjikan
apa pun padaku selain apa yang baru terjadi di antara kami. Kami melakukan
sesuatu yang sudah kusetujui sebelumnya, yaitu berhubungan.
Aku hanya tidak menyangka akan merasakan malu sebesar ini.
Bukan karena cara Miles mempersilakanku pulang segera setelah kami tidur
bersama, melainkan lebih disebabkan emosi yang timbul di hatiku karena disuruh
Miles pulang. Kupikir aku menginginkan hubungan di antara kami murni seks
sebesar yang diinginkan Miles. Tapi jika menilai dari debaran jantungku selama
dua menit terakhir, aku tak yakin sanggup hanya menjalin hubungan sesederhana
itu dengan Miles.
Ada suara kecil di balik benakku yang memperingatkanku supaya
menjauh dari situasi ini sebelum hubunganku dengan Miles menjadi rumit. Sayang
sekali, ada suara lebih kuat yang menyuruhku untuk teruskan saja dan berkata
bahwa aku layak sedikit bersenang-senang dengan banyaknya pekerjaan yang
menjadi tanggung jawabku.
Hanya memikirkan betapa aku menikmati malam ini cukup untuk
membuatku menerima, bahkan memaklumi, sikap Miles yang acuh tak acuh setelah
percintaan kami. Dengan agak banyak latihan, mungkin aku bisa belajar untuk
bersikap sama.
Aku berjalan ke pintu apartemenku, tapi berhenti ketika
mendengar suara orang berbicara. Aku menempelkan telinga ke pintu dan menyimak.
Corbin berbicara sendiri di ruang tamu, aku menduga dia sedang berbicara di
telepon.
Aku tak bisa masuk sekarang. Corbin pasti mengira aku sudah
tidur.
Aku menoleh ke pintu apartemen Miles, tapi tidak berniat
mengetuknya. Bukan hanya itu akan terasa canggung, tapi berarti waktu tidur
Miles semakin berkurang.
Aku berjalan ke lift dan memutuskan duduk di lobi selama
setengah jam ke depan, berharap sebentar lagi Corbin masuk ke kamarnya.
Konyol sekali karena aku merasa perlu menyembunyikan ini
dari Corbin, tapi aku sama sekali tidak ingin Corbin marah pada Miles. Dan jika
Corbin tahu, itu pasti terjadi.
Aku turun ke lobi dan keluar dari lift, tanpa tahu pasti apa
yang akan kulakukan. Kurasa aku bisa menunggu di mobilku saja.
“Kau tersesat?”
Aku menoleh sekilas pada Cap, yang duduk di tempatnya yang
biasa, meskipun saat ini hampir tengah malam. Cap menepuk kursi di sebelahnya.
“Silakan duduk.”
Aku berjalan melewati Cap, menuju kursi kosong. “Aku tidak
membawa makanan kali ini,” kataku. “Maaf.”
Cap menggeleng-geleng. “Aku menyukaimu bukan karena makanan
yang kaubawa, Tate. Apalagi kau tidak jago masak.”
Aku tertawa. Rasanya menyenangkan bisa tertawa. Suasana dua
hari terakhir ini rasanya terlalu tegang.
“Bagaimana Thanksgiving?” tanya Cap. “Apa bocah itu bersenang-senang?”
Aku menatap Cap sambil menggelengkan kepala karena bingung.
“Bocah itu?”
Cap mengangguk. “Mr. Archer. Bukankah dia menghabiskan
liburan bersamamu dan kakakmu?”
Aku mengangguk, sekarang aku mengerti maksud pertanyaan Cap.
“Ya,” sahutku. Aku ingin menambahkan, aku cukup yakin Mr. Archer baru menikmati
Thanksgiving paling indah selama lebih dari enam tahun terakhir ini, tapi itu
tidak kulakukan. “Mr. Archer menikmati liburan yang menyenangkan, kurasa.”
“Senyummu itu untuk apa?”
Aku langsung menghilangkan senyum lebar yang tanpa kusadari
terkembang. Aku mengerutkan hidung. “Senyum apa?”
Cap tertawa. “Oh, berengsek,” katanya. “Kau dan bocah itu?
Kau jatuh cinta, Tate?”
Aku menggeleng. “Tidak,” sahutku cepat. “Bukan seperti itu.”
“Kalau begitu, seperti apa?”
Aku cepat-cepat memalingkan wajah ketika rasa hangat menjalari
leherku. Cap tertawa ketika melihat pipiku memerah, semerah kursi yang kami
duduki.
“Aku memang sudah tua, tapi bukan berarti aku tidak bisa
membaca bahasa tubuh,” katanya. “Apa ini berarti kau dan bocah itu... apa
istilah zaman sekarang? Tidur bersama? Bobok bareng?” Aku mencondongkan tubuh
dan membenamkan wajah di tangan. Tidak bisa kupercaya aku melakukan percakapan
seperti ini dengan laki-laki lansia delapan puluh tahun.
Aku buru-buru menggeleng. “Aku tidak ingin menjawab pertanyaan
itu.”
“Aku mengerti,” kata Cap sambil mengangguk. Kami sama- sama
bungkam selama mencerna informasi yang, kurang-lebih, baru kusampaikan padanya.
“Well, bagus,” kata Cap. “Siapa tahu bocah itu akan tersenyum sesekali.”
Aku mengangguk, seratus persen setuju. Aku juga ingin melihat
Miles lebih sering tersenyum.
Cap perlahan menoleh ke arahku sambil melengkungkan alis
kelabunya yang seperti semak belukar. “Apa aku sudah memberitahumu aku pernah
menemukan mayat di lantai tiga?”
Aku menggeleng, lega karena Cap mengubah topik, sekaligus
bingung karena topik tentang mayat ternyata membantuku merasa lega.
Ternyata aku sama mengerikannya dengan Cap……….(Bersambung)
Penutup
Bagaimana? apakah sobat NOVELOVE tertarik dengan kelanjutan ceritanya? Pasti nya ketagihan dong, baiklah mari kita lanjut membaca ke bab selanjut nya yaitu Bab 14 Novel Romantis WajahBuruk Cinta
Posting Komentar untuk "Bab 13.6 Novel Romantis Wajah Buruk Cinta"